Lahirnya Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 sebagai penyempurnaan Keppres No. 80 Tahun 2003, menjadi momentum baru dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Implikasinya sudah pasti berkaitan dengan 'harusnya' semakin akuntabel dan transfarabelnya kegiatan dimaksud tanpa adanya upaya diskriminasi dan/atau apapun bentuk praktek-praktek yang menyimpang lainnya. Sehingga karut marut proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang mungkin selama ini masih ada dan terjadi dapat dieliminir atau bahkan mungkin dihilangkan.
Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) - sebagai lembaga yang memiliki otoritas membangun dan membenahi sistem pengadaan barang/jasa pemerintah dapat dikatakan sudah cukup maksimal dalam membangun sistem seperti itu meski usianya masih sangat muda. Proses pengadaan barang/jasa secara elektronik sekarang pun sedang gencar-gencarnya dilakukan.Meski demikian, bukan lah hal mudah membangun sebuah sistem yang dapat dipatuhi dengan tanpa reserve apalagi akal-akalan. Karena selalu saja ada celah yang dapat dijadikan entry point bagi oknum tidak bertanggung jawab yang secara baik sengaja maupun tidak bergerak dalam koridor yang bertentangan dengan cita-cia dibangunnya LKPP.
Lucunya,ada kalanya ditemukan juga birokrat yang mengaku sengaja menghindari dirinya masuk ke dalam bagian dari sumber daya manusia yang ditugaskan untuk menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau panitia pengadaan. Hal itu dilakukan, tentu bukan tanpa sebab. Secara empiris memang dapat dengan mudah dibuktikan bahwa tidak sedikit oknum panitia pengadaan barang/jasa pemerintah yang kemudian menjadi penghuni prodeo karena terbukti melanggar aturan dalam praktek pengadaan barang/jasa pemerintah.
Yang lebih lucu lagi, ketika dalam APBN/APBD dilakukan posting untuk membangun persepakbolaan nasional, misalnya, dimana setiap klub mendapat dukungan operasional dari APBD atau mungkin APBN, dan kemudian terjadi kesalahan prosedur dalam penggunaannya, yang dilakukan adalah mendorong pengambil keputusan untuk meniadakan post tersebut.Pertanyaannya adalah apa jadinya, jika semua jenis kesalahan prosedur dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah kemudian mengarah pada dihapuskannya post tersebut padahal post tersebut sangat strategis dalam pemberdayaan masyarakat? Atau katakanlah birokrat, juga pengusaha, semuanya menjadi paranoid, dan tidak ada lagi yang mau terlibat dalam proses itu, maka bukankah ini sama artinya tidak ada lagi daya ungkit dan daya dorong pembangunan?
Seharusnya yang dibenahi adalah sistem kontrol, sistem akuntabilitas dalam proses itu. Semangatnya bukan dalam konteks untuk balas dendam dan/atau menjebloskan si a agar masuk prodeo. Melainkan membangun aspek jera bagi setiap pelaku yang terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa. Sehingga segala sesuatunya menjadi lebih terang benderang, dan semuanya merasa nyaman menjadi bagian dalam proses itu.
Satu aspek penting dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah adalah berkaitan dengan level pengetahuan, bukan hanya dari sisi panitia pengadaan, melainkan juga dari sisi pengusaha mengenai tata cara dan aturan main dalam proses pengadaan barang/jasa dimaksud. Dalam rangka itulah, LAMPIRI merasa beruntung ketika bertemu dengan seorang praktisi, dosen, dan konsultan dalam bidang yang khusus mengajarkan teknik dan metode menghitung harga perkiraan sendiri (owner's estimate) barang cetakan untuk pengadaan barang/jasa pemerintah.
Buku ini, saat ini (Februari 2011), sudah dalam proses permohonan untuk mendapatkan kata pengantar dari kepala lembaga otoritas dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah Republik Indonesia, yakni Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), yakni Bapak Agus Rahardjo. Harapannya, karena masih langkanya buku semacam ini ditulis, dan sebenarnya dapat dijadikan referensi bagi panitia pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama yang berkaitan dengan cara menetapkan kelayakan produksi percetakan dan menentukan harga perkiraan sendiri (owner's estimate)barang cetakan untuk pengadaan barang/jasa pemerintah, maka sudah sepatutnya buku ini mendapatkan respon sebagaimana layaknya sebuah buku yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Sebab meski persoalan pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan persoalan krusial - mungkin juga sangat strategis dalam proses pembangunan, buku-buku yang berkaitan dengan hal dimaksud, masih terbilang sangat langka.
Selebihnya, adalah harapan penerbit. Agar buku ini menjadi salah satu buku wajib yang direkomendasikan LKPP untuk digunakan sebagai acuan khusus dalam menetapkan kelayakan produksi percetakan dan menghitung harga perkiraan sendiri (owner's estimate) untuk barang cetakan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
Selain Kepala LKPP, pengantar buku ini- masih dalam proses konfirmasi, juga direncanakan adalah Ketua DPR/MPR RI, Mensesneg Sudi Silalahi, Kepala BPKP, Ketua Asosiasi Perusahaan Percetakan dan Grafika Indonesia (PPGI)- sudah confirmed,dan pihak-pihak terkait yang concerned di dalam rangka menciptakan good governance, clean governance, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pembangunan yang akuntabel. Tapi, apabila kondisi kurang kondusif untuk meminta kata pengantar dari berbagai pihak yang telah disebutkan di atas, buku ini akan tetap diterbitkan mengingat benefit yang dapat diperoleh para pembacanya khususnya mereka yang terlibat dalam menghitung harga perkiraan sendiri untuk barang cetakan dalam pengadaan barang/jasa pemerintan.
Buku yang rencananya dibandroll dengan harga Rp. 250.000,- per pieces, terdiri dari kurang lebih 250 halaman- sudah termasuk gambar dan ilustrasi, hardcover dan dibuat sangat lux. Buku ini secara khusus memuat teknik dan metode menghitung harga perkiraan sendiri untuk barang cetakan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan CD yang memuat template formula teknik dan metoda menghitung harga perkiraan sendiri (owner's estimate). Dengan demikian, buku ini dapat menjadi panduan lengkap bagi para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) khususnya panitia pengadaan yang manangani barang cetakan.